Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

The Old Bridge


Ilustrasi: bustcraftusa

Ia telah berada di sana selama berjam-jam. Tangisnya tersedu-sedu hingga terdengar dari bilik koridor ruangan. Berulang-kali aku memanggilnya dari balik pintu, namun ia seperti tak mendengarku.

Aku hanya ingin berbicara padanya, aku ingin sekali menjelaskan semuanya. Ia masih bergeming. Hatiku terkoyak-koyak saat suaranya terdengar semakin parau terisak dalam tangis. Tolong sadari diriku!

Derap langkahnya terdengar lirih menuju pintu sebelum ia mendorongnya hingga terbanting hampir menampar wajahku. Ia melewatiku begitu saja, mengabaikan segala upayaku untuk mengehentikannya, mengacuhkan permohonanku untuk sejenak berbicara padanya.

Langkahnya yang terburu-buru sontak membawanya keluar di tengah gelapnya malam dan dinginnya angin yang menusuk tulang. Ku tak kuasa lagi menahan air mataku yang jatuh berlinang saat ia mengabaikanku untuk ke sekian kalinya. Aku memelas memintanya penuh harap agar ia berhenti dan mendengarkanku sebentar saja. Ia hanya menoleh ke belakang dengan mata berbinar, kemudian berlari ke pematang jalan.

Tanpa pikir panjang aku segera berlari mengejarnya, aku telah bersumpah untuk membawanya kembali pulang. Ia terus berlari dan sesekali mengusap wajahnya yang sembab berurai air mata. Aku masih berlari di belakangnya, mengikutinya menerjang dinginnya malam. Terus berteriak memanggil namanya, namun ia seakan tuli.

Aku tak bisa memalingkan pandanganku padanya. Karena ku, cinta dalam hidupku kini tengah berada pada kondisi yang begitu mengerikan. Aku mungkin telah banyak menyalahkan orang lain, tapi saat ini tak ada orang lain yang berhak disalahkan selain diriku sendiri.

Gelapnya malam perlahan memudar seiring cahaya terang rembulan menembus gumpalan awan. Ia menghentikan langkahnya tepat di sebuah tempat yang rasanya tak asing bagiku. Jembatan bekas kolonial yang telah usang.

Dengan berurai air mata, ia cukup yakin melangkahkan kakinya ke tepi jembatan itu. Perasaanku berkecamuk melihatnya putus asa, aku berteriak padanya agar berhenti dan berbicara padaku. Ia sama sekali tak mendengar.

Sebelum aku dapat menggapainya, ia telah berdiri di pagar jembatan sembari terisak dalam tangis yang berusaha ia tahan. Ia menoleh sejenak ke belakang seolah menyadariku, namun ternyata tidak. Rupanya ia hanya memandangi karangan bunga yang berada di sebelah kakinya.

Bibirnya bergetar saat ia melihat derasnya aliran sungai yang berada tepat di bawahnya. Ia berteriak mengutuk angin, memaki ku dengan kalimat tak pantas, memanggilku bajingan, dan membiarkanku pergi untuk terakhir kalinya.

Tubuhku lemas, air mataku jatuh membasahi pipi. Langkah kakiku tersandung dan tak berdaya melihat ia mengendurkan pijakan kakinya, membiarkan tubuhnya jatuh ke derasnya arus sungai.

Kosong dan putus-asa.

Tanganku masih gemetar saat ku coba meraih pagar jembatan, kemudian ku pandangi sungai itu . . . . .

Tempat di mana kekasihku meregang nyawa

Sungai yang sama pula, tempatku mengakhiri hidupku untuk selamanya

Posting Komentar untuk "The Old Bridge"