Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Indonesia Batal Menjadi Tuan Rumah Piala Dunia U-20: Carut-marutnya Polarisasi Ideologi Indonesia

Sumber: miragenews, mizzima.com

Polarisasi ideologi di Indonesia telah menjadi salah satu faktor penting yang mempengaruhi kegagalan Indonesia menjadi tuan rumah Piala Dunia U20. Polarisasi ini terjadi akibat adanya perbedaan pandangan dan kepentingan antara kelompok-kelompok politik yang berbeda. Perbedaan cara pandang tersebut akhirnya melahirkan ketidakseimbangan dalam pengambilan keputusan dan pelaksanaan program-program yang diperlukan untuk menyelenggarakan Piala Dunia U20. Puncaknya ketika beberapa pejabat politik mendeklarasikan diri menolak Timnas Israel untuk berlaga di Piala Dunia U-20 yang berbuntut pada penangguhan Indonesia sebagai tuan rumah Piala Dunia U-20 oleh FIFA.

Selain itu, polarisasi ideologi juga berdampak pada kerusuhan dan konflik yang terjadi di beberapa wilayah Indonesia khususnya yang berkaitan dengan olahraga sepak bola. Kerusuhan yang dimaksudkan itu tentunya mengarah pada Tragedi Kanjuruhan, yaitu tragedi kecelakaan sepak bola paling buruk sepanjang sejarah yang terjadi pada Oktober tahun lalu dan menewaskan lebih dari 135 jiwa. Hal ini yang membuat pihak FIFA merasa tidak percaya diri dan khawatir akan keamanan dan keselamatan para pemain dan penonton. Akibatnya, mereka memilih untuk memindahkan acara tersebut ke negara lain yang dianggap lebih stabil dan aman.

Penyebab Indonesia mengalami polarisasi ideologi ini adalah hasil dari mundurnya demokrasi Indonesia yang berlangsung sejak dekade awal 2010-an dan berlangsung makin parah sampai saat ini.  Kemunduran demokrasi bisa juga dipahami sebagai kemunduran norma-norma, lembaga-lembaga, dan proses-proses demokrasi. Fenomena kemunduran demokrasi dan berkembangnya polarisasi ideologi tersebut terdokumentasi dengan baik hingga menjadi perhatian para pengamat politik dunia. Ironisnya, Indonesia memberikan ilustrasi yang tepat tentang bagaimana fenomena itu dapat terjadi.

Setelah runtuhnya otoritarianisme di akhir tahun 1990-an, Indonesia berhasil melampaui ekspektasi dengan membentuk lembaga-lembaga demokratis dan melaksanakan beberapa gelombang pemilihan umum lokal dan nasional yang bebas dan adil. Namun, perjalanan demokrasi Indonesia nampaknya tak berkerja sesuai rencana, bahkan malah berubah  menjadi lebih gelap dan terpuruk. Semua itu terbukti dengan maraknya isu ketidakbebasan, polarisasi, dan kebangkitan Islam politik radikal.

Melihat tren-tren ini, masuk akal untuk mengasumsikan bahwa masyarakat Indonesia semakin kecewa dengan lembaga-lembaga demokrasi di Indonesia. Namun, data opini publik menunjukkan gambaran yang kontras, karena erosi demokrasi tidak disertai dengan meningkatnya ketidakpuasan publik terhadap demokrasi.

Jika kita melihat tren ini, maka masuk akal untuk mengasumsikan bahwa masyarakat Indonesia semakin kecewa dengan lembaga-lembaga demokrasi di Indonesia. Namun, data opini publik menunjukkan gambaran yang kontras karena erosi demokrasi tidak disertai dengan meningkatnya ketidakpuasan publik terhadap demokrasi. Tetapi yang terjadi malah sebaliknya, masyarakat Indonesia justru semakin puas dengan bagaimana demokrasi dipraktikkan di negara mereka. Tepat sebelum munculnya pandemi COVID-19 pada Februari 2020, kepuasan terhadap demokrasi mencapai titik tertinggi sepanjang sejarah sepak terjang demokrasi di indonesia, yaitu sekitar 76 persen. Tren positif yang kuat ini tampaknya dimulai pada pertengahan tahun 2010-an, pada waktu yang hampir bersamaan saat para pengamat politik Indonesia mulai menyatakan bahwa demokrasi di negara ini memburuk.

Maka pertanyaannya adalah “kok bisa?” Teka-teki ini dapat dipahami jika kita berfokus pada representasi politik. Meskipun demokrasi di Indonesia mungkin tidak berjalan sesuai harapan, namun perlu diketahui bahwa perpecahan ideologis ini telah mengakar terkait peran Islam dalam politik. Mereka memberi masyarakat pilihan-pilihan politik yang berlawanan, hasilnya terbentuk dua pandangan yang saling beradu yaitu pemahaman masyarakat yang pluralis dengan ideologi-ideologi Islamis yang lebih eksklusif.

Perpecahan ini mendasari perdebatan substantif mengenai isu-isu seperti kesetaraan agama, hak-hak perempuan, kebebasan individu, dan privasi. Meskipun masyarakat mungkin tak puas dengan beberapa lembaga demokrasi Indonesia dan lambatnya reformasi politik, akan tetapi masyarakat Indonesia masih menghargai kemampuan demokrasi mereka untuk memberikan representasi dan partisipasi politik. Pandangan ini didukung oleh banyak data empiris, mulai dari hasil pemilu hingga survei opini publik dan keragaman politisi Indonesia yang masih perlu kita kaji ulang kebenaran datanya.

Perspektif mengenai lembaga-lembaga demokrasi ini menunjukkan kompleksitas erosi demokrasi, baik di Indonesia maupun di luar Indonesia. Meningkatnya polarisasi dan Islamisme mungkin dapat merusak demokrasi Indonesia, tetapi implikasinya terhadap representasi politik dapat membantu menjelaskan mengapa masyarakat Indonesia menjadi lebih puas dengan demokrasi di Indonesia jika merujuk pada data empiris yang ditampilkan.

Di luar Indonesia, studi mengenai kemunduran demokrasi sering kali melihat perkembangan demokrasi sebagai suatu pergerakan di sepanjang lintasan linier, di mana sebuah negara menjadi lebih atau kurang demokratis dari waktu ke waktu. Namun, membagi kubu-kubu partisan yang berlawanan menjadi demokratis atau anti-demokratis merupakan hal yang bermasalah. Sebaliknya, sering terjadi benturan nilai antara dua pemahaman yang berbeda tentang demokrasi. Kubu pluralis-liberal menekankan pentingnya pembatasan kekuasaan eksekutif, sementara kubu populis memprioritaskan mayoritarianisme dan representasi substantif. Konflik ini berasal dari ketegangan antara tuntutan-tuntutan demokratis yang sama-sama sah dan biasanya melibatkan tarik ulur antara tujuan demokratis yang berbeda, seperti liberalisme, egalitarianisme, partisipasi, dan representasi.

Penindasan terhadap kelompok-kelompok Islam radikal seperti Hizbut Tahrir Indonesia atau Front Pembela Islam menggambarkan dinamika yang saling bertentangan. Pembubaran organisasi-organisasi ini mungkin telah menegaskan kembali komitmen Indonesia untuk melindungi minoritas agama, tetapi represi itu juga dapat menyebabkan implikasi jangka panjang yang berdampak negatif terhadap representasi demokratis di Indonesia.

Menekan Islam radikal sama saja membatasi kapasitas mobilisasi aktor-aktor non-liberal, tetapi membatasi mobilisasi kelompok Islam radikal juga berarti merampas suara sebagian besar warga negara Indonesia. Ketika hal ini terjadi, perdebatan substantif tentang dimensi ideologis persaingan politik di negara ini menjadi kurang bermakna. Hasilnya legitimasi demokrasi pada akhirnya dapat dikompromikan.

Demokrasi Indonesia juga menderita karena kurangnya oposisi kohesif yang dapat berfungsi sebagai pengawas terhadap kekuasaan eksekutif. Mengingat lanskap politik Indonesia saat ini, oposisi yang kohesif sejauh ini hanyalah kubu Islamis konservatif yang tegas. Peran yang lebih menonjol dari Islam politik radikal merupakan syarat mutlak bagi kemunculan blok politik ini.

Oleh karena itu, Indonesia menghadapi tarik ulur yang pelik antara konsolidasi nilai-nilai liberal - yang membutuhkan pemisahan lebih jelas antara agama dan politik dan penguatan perwakilan dan akuntabilitas demokratis - yang membutuhkan keselarasan ideologis antara warga negara dan politisi serta kubu-kubu partisan yang dapat diidentifikasi dengan jelas. Masa depan demokrasi di negara ini akan bergantung pada kemampuannya untuk menemukan solusi yang seimbang terhadap dilema ini.

Posting Komentar untuk "Indonesia Batal Menjadi Tuan Rumah Piala Dunia U-20: Carut-marutnya Polarisasi Ideologi Indonesia "