Cina Dan Timur Asing Dalam Perekonomian Abad Ke-17
Dominasi Golongan Cina Dan Timur Asing Dalam Perekonomian Indonesia Sejak Abad Ke-17
Een Chinees die stof ter verkoop aanbied Batavia (1881-1889) [Tropenmuseum ] |
Sekitar abad ke-17 marginalisasi dibedakan menjadi 3 yaitu golongan
Eropa, golongan Timur Asing dan golongan Bumiputera (pribumi). Golongan Eropa dan golongan timur
asing mendapatkan keistimewaan-keistimewaan. Sedangkan golongan Bumiputera
dimarginalisasi. Marginalisasi adalah fenomena ketidakseimbangan dari
pemerolehan peluang dalam aspek ekonomi, sosial, dan pendidikan oleh sekumpulan
masyarakat. Akibat dari marginalisasi inilah masyarakat tersebut menjadi miskin
dan berada dalam keadaan serba naïf.
Stratifikasi Sosial Yang Cukup Mengakar Di Masyarakat
Di dalam buku pidato Lektorat Ismain, Struktur
sosial dan struktur kekuasaan, menempatkan golongan Bumiputera dan golongan
asing adanya stratifikasi yang berbeda pada struktur. Perbedaan dalam struktur
menghasilkan perbedaan dalam struktur ekonomi, seperti ketimpangan dalam
penguaasaan aset ekonomi. Faktor sosio-kultural orang Cina dipandang membawa
mereka pada posisi ekonomi sebagai golongan menengah di Indonesia.
Struktur ekonomi kolonial bersifat berat sebelah dan tidak
adil. Belanda tidak menginginkan golongan Bumiputera kuat ekonominya, sehingga
timbullah penengah yaitu golongan Cina. Struktur itu masih digunakan sampai
sekarang, sehingga membuat orang-orang Cina menguasai dengan kuat perekonomian
di Indonesia.
Kedekatan orang Cina dengan birokrasi hanya dalam rangka mendapat konsesi-konsesi bisnis, mereka mempunyai pengaruh politik yang berarti. Istilah Ali Baba muncul sebagai modus hubungan antara penguasa Bumiputera dengan orang Cina. Hubungan itu berbentuk kerjasama bisnis yang saling menguntungkan. Banyak kegiatan yang dilakukan dengan mengatasnamakan pengusaha Bumiputera, namun dikelola oleh orang Cina yang berpengalaman dalam bisnis.
Modus bisnis ini pada masa orba, berkembang menjadi sistem cukongisme (cukong = majikan). Cukongisme menunjuk kepada pengusaha Cina yang terampil bekerja sama dengan penguasa di Indonesia. Munculnya istilah Ali Baba atau cukongisme bukan hal baru lagi. Hal itu sudah dilakukan oleh golongan kolonial kepada Indonesia. Praktek sehari-hari golongan Cina juga mendiskriminasi golongan Bumiputera, seperti penggunaan kata Hoan-na (orang yang tidak bisa dipercaya), tidak menerima orang Bumiputera dalam suatu direksi puncak perusahaan, diskriminasi dalam rekrutmen serta gaji atau penghasilan.
Abad ke-10 merupakan masa-masa emporium. Emporium adalah kota-kota pelabuhan yang dilengkapi berbagai fasilitas, seperti gudang, pasar, penginapan, perbekalan, syahbandar, kredit dan lain-lain. Emporium berkembang antara abad 14-16, sejalan dengan proses Islamisasi di Nusantara. Pada saat itu, Indonesia belum terbentuk dan masih berupa kerajaan-kerajaan besar. Kerajaan-kerajaan itu banyak yang menguasai pesisir pantai juga jalur pelayaran dunia. Hal itu yang membuat mereka membuka pelabuhan-pelabuhan besar walaupun itu hanya untuk persinggahan sementara.
Klasifikasi Golongan Penggerak Ekonomi
Pada masa emporium, masyarakat terbagi menjadi tiga golongan, golongan pertama yaitu golongan pemilik modal, terdiri dari raja, bangsawan, dan orang kaya. Golongan kedua yaitu pedagang. Golongan yang ketiga dinamakan kiwi, yaitu kelompok yang terorganisasi dalam perahu-perahu dagang, dengan nakhoda sebagai penguasa tunggal. Kedudukan penjaja dalam stratifikasi masa emporium termasuk sebagai penengah. Posisinya berada di antara kelas penguasa dan lapisan bawah. Golongan pedagang penjaja paling besar jumlahnya yaitu dari Jawa dan Melayu.
Keterbukaan merupakan ciri khas kota emporia pesisir. Keterbukaan itu mendorong pedagang asing datang dan tinggal menetap. Selama beberapa abad sampai wal datangnya kolonial, semua pelabuhan terbuka bagi berbagai kebangsaan. Pada umumnya golongan pedagang Bumiputera melakukan transaksi pedagang asing berdasar prinsip saling menghormati. Kedatangan bangsa asing ke Nusantara tercatat dalam beberapa daerah, seperti di Maluku, pedagang yang paling banyak datang yaitu orang Cina. Hubungan awal antara Cina dengan Nusantara, diperkirakan sudah berlangsung sejak awal masehi.
Hal itu didukung temuan keramik Han di Banten. Perdagangan Jawa dengan Cina berlangsung secara teratur. Perdagangan orang Cina di Nusantara adalah perdagangan kelontong bertaraf mancanegara . hal itu ditunjukkan oleh penggunaan mata uang Cina sebagai alat tukar transaksi dagang antara Majapahit dengan Cina. Mata uang tersebut terbuat dari campuran tembaga, perak, timah putih dan timah hitam.
Pedagang Cina membawa sutera, porselin, tembaga, kertas, dan kerajinan tangan, kumudian dibarter dengan cengkeh, pala, emas, kayu cendana, dan lain-lain. Pusat perdaganagn Cina pada waktu itu Jepara, Banten, Gresik, dan Pekalongan. Pada masa keemasan Majapahit, sudah terbiasa mengimpor barang-barang dari Cina. Perkawinan antara orang Cina dengan golongan Bumiputera sudah terjadi semenjak orang Cina menetap di kota-kota emporium. Kebanyakan orang Cina yang lahir dari perkawinan itu disebut Cina Peranakan. Mereka lebih mengenal budaya Jawa dibandingkan dengan budaya Cina. Kebanyakan Cina peranakan tersebut memeluk Islam, dan ada keuntungan yang diperoleh dari situ, antara lain:
- Keuntungan ekonomis, yaitu penerimaan sebagai perantara
- Keuntungan sosiologis, yaitu pertalian lebih akrab dengan penduduk setempat
- Pertimbangan keuangan, menghindari beban pajak “wong khonde” dari VOC, yaitu bagi mereka yang berambut gaya ming
- Bersumber pada sifat imigran Cina di Jawa menyerap budaya dalam rangka penyesuaian diri.
Keempat keuntungan itu dijadikan
pertimbangan oleh golongan Cina hingga abad 19. Stratifikasi sosial kota-kota
emporia, pada lapisan atas ditempati oleh golongan aristokrasi pedagang dan non
pedagang. Di lapisan tengah ditempati kelompok pedagang dan orang kaya. Istilah
orang kaya diperuntukkan juga bagi golongan aristokrasi di Aceh.
Sumber: Marginalisasi Golongan Menengah Bumiputera Dalam Kemunculan Fenomenal Golongan Menengah Asing Di Indonesia Sejak Abad Ke-17 - Kasimanudin Ismain 1999
Posting Komentar untuk "Cina Dan Timur Asing Dalam Perekonomian Abad Ke-17"